Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

BEDAH BUKU Kol. Alex Kawilarang "Untuk Sang Merah Putih"

LATAR BELAKANG Keprihatinan atas kondisi saat ini, dimana generasi muda hampir tidak memiliki keterkaitan lagi dengan sejarah perjuangan berdirinya NKRI. Bahkan dengan tekanan ekonomi yang semakin berat, banyak orang yang hanya mampu memikirkan apa yang harus dilakukan hari ini dan tidak lagi bisa menatap ke depan, apalagi menengok ke belakang. keadaan semacam ini, bila dibiarkan berlarut-larut, lama kelamaan akan mengikis ingatan generasi muda akan perjuangan para pendahulu kita dalam memperjuangkan berdirinya NKRI. Sehingga pada akhirnya semangat juang sebagai suatu bangsa yang besar akan melemah, dan berujung pada hilangnya kekuatan dan keberanian berkorban dalam mempertahankan keutuhan NKRI. TUJUAN mensosialisasikan sejarah perjuangan di masa perang kemerdekaan agar lebih dipahami dan dihayati oleh generasi muda. Sehingga tidak terjadi kelak, bahwa prasasti dan monumen hanya menjadi batu hiasan diujung kota, dan nama-nama pahlawan hanya menjadi sederet huruf tanpa makna. PENYELENGG

Alex Kawilarang Layak Jadi Pahlawan

Jakarta, Kompas - Alex Kawilarang, yang pernah menumpas pemberontakan Andi Azis dan Kahar Muzakkar di Makassar serta pemberontakan Republik Maluku Selatan, layak untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional..." Wacana ini berkembang dalam diskusi buku AE Kawilarang untuk Sang Merah Putih di Jakarta, Kamis (3/6). Buku terbitan Pustaka Sinar Harapan itu ditulis Ramadhan KH. Usulan menjadi pahlawan itu disampaikan oleh Utaryo dan Alwin Nurdin. Keduanya mantan rekan seperjuangan Alex sejak masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Usulan juga disampaikan pengamat militer Jaleswari Pramodhawardani serta moderator Fadli Zon. Pada 1949, Alex Kawilarang menjadi Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur di Makassar. Pada 1958, ia mengundurkan diri dari TNI. Tahun 1960-1961, ia menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Permesta. Utaryo dan Alwin Nurdin, dalam dialog, menggambarkan ba